Salah satu hal yang tak pernah
aku ajarkan pada Bagas adalah musik dan nyanyian. Ya, sebagai ibu, aku tak pernah
mengajak anaku bernyanyi atau mengajarkan dia nyanyian. Handphone suamiku tak
ada musik (hp ku nggak bisa mutar musik) dan di rumah kami tak pernah
menyalakan televisi (bukan anti tv,karena nggak punya antena aja,haha..). Di
handphone suamiku hanya ada murottal dan ceramah agama. Otomatis, Bagas tak
punya akses terhadap musik dan tak punya pilihan lain selain mendengar apa yang
tersedia.
Aku bukan pembenci musik, dulu setiap
hari aku mutar musik. Hingga ketika aku menikah dengan suamiku, mengikuti
pengajian sunnah dan mengetahui dengan benar hukum musik dalam Agama Islam.
Sejak itu, aku tak memutar musik lagi. Berikut salah satu dalil yang
mengharamkan musik, seperti yang kukutip dari rumaysho.com
“Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah
tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat
Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum
mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar
gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut,
lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu–
berkata, “Yang dimaksud
(perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.
Jika ada yang mengatakan,
“Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi
hujjah (dalil)?”
Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat
bisa menjadi hujjah. Ibnul Qayyim mengatakan,
“Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih
didahulukan daripada penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat
yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena
Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.
Lalu bagaiman dengan penelitian
para ahli yang menunjukan manfaat musik bagi anak-anak? Aku tak menampiknya,
aku percaya musik memiliki sedikit manfaat. Tapi manfaatnya tak sebanding dengan mudharatnya. Perlu
diingat bahwa adalah wajib bagi seorang muslim untuk beriman ketika dalil sudah
datang padanya. Dan apakah aku berani menyandingkan dalil dengan perkataan
entah siapa? Berikut aku kutip pernyataan Ibnul Qayyim
“Firman Allah dan sabda Rasul Nya itulah ilmu. Juga perkataan para
sahabat, mereka ahli ilmu. Bukanlah ilmu jika secara bodoh kamu melawankan
antara sabda Rasul dengan perkataan seorang fulan”
Mungkin akan ada yang berpikir
bahwa, anaku kasihan karena tak bisa bersenang-senang seperti anak kebanyakan,
dan bahwa musik membuat hidup lebih berwarna.Menurutku pendapat itu terasa
berlebihan. Bersenang-senang tidak hanya dilakukan dengan musik. Dan jika
seorang muslim berkata bahwa musiklah yang membuatnya tenang dan bahagia, aku
ingatkan kembali ayat berikut:
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS.
ar-Ra’du: 28)
Lalu apa keuntungan yang
kuperoleh dari tak pernahnya Bagas mendengarkan musik? Pertama, karena dia tak
punya akses ke musik, ketika ia megang HP abinya mau nggak mau dia mendengarkan
murottal. Kedua, karena dia cuma tau murottal dan adzan, maka ketika dia ingin
bersenandung maka yang dia senandungkan adalah adzan dan murottal. Ketiga,
karena dia cendrung lebih sering dengar murottal, mau nggak mau dia hapalnya
surat Al Quran, lebih tepatnya Al-Fatihah. Memang belum lancar dari ta’awudz
sampai amin sih, tapi dia sudah bisa menyambung kalau aku pancing dengan kata-kata
awal. Not bad lah.. Bukankah bagi seorang muslim lebih bermanfaat surat Al
Fatihah dibandingkan ‘balonku ada lima’?
Memang sih, aku tak bisa
selamanya menutup akses Bagas dari musik. Zaman sekarang, musik diputar
dimana-mana, mesjid aja mutar musik ‘islami’ kok. Tapi paling tidak, bukan aku
yang memperkenalkan musik pada anaku. Mengapa itu penting? karena kita
bertanggungjawab terhadap tanggungan kita. Ketika mengajarkan yang baik, kita
mendapatkan balasan, ketika mengajarkan yang buruk pun kita mendapat balasan.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
"Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau
akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah
engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu
kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal.
123). (dikutip dari muslim.or.id)