Sabtu, 19 Maret 2016

Yang Dibutuhkan Penulis



Belum lama ini aku menamatkan buku My Life as A Writer karya Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan. Aku belinya cuma Rp 10.000 di acara diskon Gramedia, dan ternyata isinya lumayan bermanfaat. Buku ini berisi wawancara dengan penulis yang sudah menerbitkan buku, yaitu : Alanda Kariza, Farida, Vabyo, Clara Ng, dan Dewi Lestari (sebenarnya sih aku cuma tau 2 yang terakhir aja, hehe..). Dari buku ini , ada beberapa pelajaran yang bisa aku petik mengenai cara menjadi penulis yang baik. 

sumber:ribka-anastasia.blogspot.com
Nah, supaya aku lebih paham bagaimana cara menjadi penulis yang baik, aku memutuskan untuk menuliskanya di blog ini. Aku akan menjabarkanya dalam bentuk point, tidak semua point berasal dari buku My Life As A Writer, sebagian dari hasil pengamatanku dan pengalaman hidup (ceileeeh). Berikut hal yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menjadi penulis yang baik versiku:

1.Penulis yang baik adalah seorang pengamat yang baik
Pada dasarnya, karya tulis adalah hasil buah pemikiran penulisnya. Dan pemikiran muncul dari suatu proses pengamatan. Mengapa sebuah tulisan bisa terasa mengejutkan? Karena pengamatan mengenai sesuatu objek yang terkadang tak terpikirkan oleh orang lain.  Kalau mengutip dari perkataan Dewi Lestari dari buku My Life As A Writer, “Aku selalu merasa bahwa seorang penulis memiliki dua otak. Satu otak dipakai untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dan satu otak lain untuk merekam dan mengamati, mirip seperti pusat pengumpulan data. Butuh pembiasaan diri dan ketelatenan untuk merawat otak ‘penulis’ ini.”

2. Pengetahuan /Kepakaran / berakar mengenai suatu tema
Aku tak begitu menyukai  buku nonfiksi yang sumbernya berasal dari google, karena kalau cuma googling suatu konsep akupun bisa. Dan aku sangat tidak respek dengan seorang yang tak begitu paham akan suatu bidang, tapi berani menerbitkan buku tentang hal  itu (apalagi buku agama!). Ujung-ujungnya buku itu bersumber dari buku-buku lain, dan bukan hasil pengalaman atau pemikiran penulis. 


Kalau mengutip perkataan Pepih Nugraha dari fanspage beliau (sebenarnya ini tentang menulis opini, tapi menurut saya pendapatanya ini masuk di karya tulis apapun) :“Tetapi bagi saya, ilmu apapun, sesederhana apapun ilmu itu, tetaplah menuntut kepakaran .... Minat saja belum cukup agar kamu bisa menulis opini yang tajam, dibutuhkan kepakaran.”

3. Bersabar dengan proses
Satu-satunya produk instan yang enak adalah mi instan, nggak ada yang lain. Apalagi karya tulis. Nggak sedikit aku menemukan pelatihan yang judulnya ‘3 hari jago nulis’, ‘sebulan terbit buku’, dan sebagainya- dan sebagainya. aku tak percaya tulisan bermutu dihasilkan dalam waktu singkat, kecuali si penulis minjem tongkatnya Pak Tarno. Bersabar dalam berproses adalah syarat untuk mampu dalam bidang apapun, jadi daripada ngotot menerbitkan buku dalam waktu singkat, lebih baik fokus meningkatkan kuaitas tulisan dan bertekun dalam berproses. Atau seperti pernyataan Clara Ng,”Jangan pernah memaksakan diri. Seorang penulis akan siap dengan sendirinya ketika ia sudah siap. Nggak ada patokan umur untuk menjadi penulis profesional, yang justru lebih penting adalah tingkat kematangan”.
 
4. Ketulusan
‘Hati hanya bisa disentuh dengan hati’. Ehem! Ini kalimat dari suamiku, tapi setelah kurenungkan kalimat ini banyak benarnya. Pada dasarnya, ketika kita membaca sebuah tulisan kita bisa merasakan tujuan si penulis, cepat atau lambat. Kita bisa merasakan bahwa sebuah tulisan berasal dari sebuah emosi atau pikiran yang menggerakan hati penulis atau sekedar mengikuti tren penjualan saja. Kita  akan bisa membedakan apakah sebuah tulisan memang ditujukan untuk berbagi, atau untuk lahan mencari pendapatan. Kita sebagai pembaca bisa merasakan apakah kita dipandang sebagai manusia atau sekedar target pemasaran semata. Sejago apapun orang itu memoles kata-katanya, pada akhirnya ketidaktulusan dapat dirasakan.

ODOPfor99days #day19


Tidak ada komentar:

Posting Komentar