Belum lama ini aku menamatkan
buku My Life as A Writer karya Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan. Aku
belinya cuma Rp 10.000 di acara diskon Gramedia, dan ternyata isinya lumayan
bermanfaat. Buku ini berisi wawancara dengan penulis yang sudah menerbitkan
buku, yaitu : Alanda Kariza, Farida, Vabyo, Clara Ng, dan Dewi Lestari
(sebenarnya sih aku cuma tau 2 yang terakhir aja, hehe..). Dari buku ini , ada
beberapa pelajaran yang bisa aku petik mengenai cara menjadi penulis yang baik.
sumber:ribka-anastasia.blogspot.com |
1.Penulis yang baik adalah
seorang pengamat yang baik
Pada dasarnya, karya tulis adalah
hasil buah pemikiran penulisnya. Dan pemikiran muncul dari suatu proses
pengamatan. Mengapa sebuah tulisan bisa terasa mengejutkan? Karena pengamatan
mengenai sesuatu objek yang terkadang tak terpikirkan oleh orang lain. Kalau mengutip dari perkataan Dewi Lestari
dari buku My Life As A Writer, “Aku
selalu merasa bahwa seorang penulis memiliki dua otak. Satu otak dipakai untuk
menjalani kehidupan sehari-hari. Dan satu otak lain untuk merekam dan
mengamati, mirip seperti pusat pengumpulan data. Butuh pembiasaan diri dan
ketelatenan untuk merawat otak ‘penulis’ ini.”
2. Pengetahuan /Kepakaran /
berakar mengenai suatu tema
Aku tak begitu menyukai buku nonfiksi yang sumbernya berasal dari
google, karena kalau cuma googling suatu konsep akupun bisa. Dan aku sangat
tidak respek dengan seorang yang tak begitu paham akan suatu bidang, tapi
berani menerbitkan buku tentang hal itu
(apalagi buku agama!). Ujung-ujungnya buku itu bersumber dari buku-buku lain,
dan bukan hasil pengalaman atau pemikiran penulis.
Kalau mengutip perkataan
Pepih Nugraha dari fanspage beliau (sebenarnya ini tentang menulis opini, tapi menurut saya pendapatanya ini masuk di karya tulis apapun) :“Tetapi bagi saya, ilmu apapun, sesederhana
apapun ilmu itu, tetaplah menuntut kepakaran .... Minat saja belum cukup agar
kamu bisa menulis opini yang tajam, dibutuhkan kepakaran.”
3. Bersabar dengan proses
Satu-satunya produk instan yang
enak adalah mi instan, nggak ada yang lain. Apalagi karya tulis. Nggak sedikit
aku menemukan pelatihan yang judulnya ‘3 hari jago nulis’, ‘sebulan terbit
buku’, dan sebagainya- dan sebagainya. aku tak percaya tulisan bermutu dihasilkan
dalam waktu singkat, kecuali si penulis minjem tongkatnya Pak Tarno. Bersabar
dalam berproses adalah syarat untuk mampu dalam bidang apapun, jadi daripada
ngotot menerbitkan buku dalam waktu singkat, lebih baik fokus meningkatkan
kuaitas tulisan dan bertekun dalam berproses. Atau seperti pernyataan Clara Ng,”Jangan pernah memaksakan diri. Seorang
penulis akan siap dengan sendirinya ketika ia sudah siap. Nggak ada patokan
umur untuk menjadi penulis profesional, yang justru lebih penting adalah
tingkat kematangan”.
4. Ketulusan
‘Hati hanya bisa disentuh dengan
hati’. Ehem! Ini kalimat dari suamiku, tapi setelah kurenungkan kalimat ini
banyak benarnya. Pada dasarnya, ketika kita membaca sebuah tulisan kita bisa
merasakan tujuan si penulis, cepat atau lambat. Kita bisa merasakan bahwa
sebuah tulisan berasal dari sebuah emosi atau pikiran yang menggerakan hati
penulis atau sekedar mengikuti tren penjualan saja. Kita akan bisa membedakan apakah sebuah tulisan
memang ditujukan untuk berbagi, atau untuk lahan mencari pendapatan. Kita
sebagai pembaca bisa merasakan apakah kita dipandang sebagai manusia atau
sekedar target pemasaran semata. Sejago apapun orang itu memoles kata-katanya,
pada akhirnya ketidaktulusan dapat dirasakan.
ODOPfor99days #day19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar