Sabtu, 12 Maret 2016

Dibalik Marah



Mengurus anak bukanlah hal yang mudah. Mendidiknya apa lagi. Rasanya, setiap hari seorang ibu harus terus berhadapan dengan kondisi yang mengharuskan untuk dilakukan pengambilan keputusan secara cepat dan tepat. Keputusan yang terkadang memiliki efek sepele tapi juga tak jarang memiliki efek jangka panjang (seperti melukai perasaan  anak). 

Setiap ibu pasti sering dilema dalam mengambil keputusan untuk marah atau tidak, bersikap tegas atau longgar, menuruti keinginan anak atau menolak, dan sebaginya-dan sebagainya. Tak pernah ada jawaban yang benar tentang hal itu, bukan? Setiap situasi memiliki jawaban yang berbeda. Dan sebanyak apapun artikel parenting telah kita baca, pada akhirnya intuisi lebih sering digunakan daripada teori para pakar. 

Salah satu dilema yang paling sering kualami adalah dilema untuk memarahi anak atau tidak. Pernah dengar pernyataan yang mengatakan bahwa membentak anak bisa merusak sel-sel otaknya? Ada yang berhasil untuk tak pernah membentak anak sama sekali sepanjang proses mengurus anak? Mungkin ada, tapi sebagai ibu yang kurang sabaran, mengalami PMS dan kelelahan seperiku, tidak pernah membentak anak adalah hal yang mustahil rasanya. Belum lagi perasaan dilema seperti ,’entar kalau nggak pernah dibentak, ini anak tumbuh tanpa perasaan segan kepadaku dan terbiasa bersikap seenaknya’. 

Apakah pola pikirku benar? Apakah sebagai orangtua yang juga ingin menjadi sahabat si anak berarti kita tak boleh memarahinya? Atau kita boleh marah tapi tanpa membentak? Bagaimana pula caranya itu? Kalau dipikir-pikir lagi, bukankah kita boleh memukul anak jika ia berumur 10 tahun yang tidak mau sholat? Apakah itu artinya kita boleh memarahi anak dengan cukup keras setelah ia berumur cukup besar?

Menurutku, ada satu hal yang dapat dipelajari mengenai ‘memukul anak usia 10 tahun yang tidak mau sholat’, yaitu : bahwa marah diperbolehkan dengan alasan yang benar. Begini, Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wa salam memperbolehkan memukul anak, karena hal itu justru bentuk sayang dan perhatian kita pada sebagai orangtua. Sebagai muslim kita mengetahui apa akibat dan ancaman dari meninggalkan sholat. Memukul anak, adalah upaya kita mencegahnya dari sesuatu yang jauh lebih buruk akibatnya.

Tapi, kita harus berhati-hati jika kita marah hanya untuk melampiaskan emosi semata. Bisa saja dua orang ibu marah pada dua hal yang tampak sama, tapi pada hakikatnya berbeda. Misalnya nih, ada dua orang ibu yang menyuruh anaknya sholat, dan kedua anak itu membantah. Ibu satu memukul si anak karena dia tak mau anaknya meninggalkan sholat. Sementara ibu yang satu lagi memukul anaknya karena merasa si anak sudah bersikap kurang ajar dan egonya sebagai orang tua tersentil. Berbeda bukan? 

Aku pun jadi menyadari bahwa dalam hal marah sekalipun, niat harus diperhatikan dan diluruskan. Karena memarahi dengan kasih sayang, pada akhirnya memiliki hasil berbeda dengan marah karena sebatas tengah emosi. Pada akhirnya anak-anak akan memiliki nalar untuk memahami alasan di balik kemarahan kita. Maka alasan marah yang keliru memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melukai perasaanya.

Walaupun begitu, aku mengakui bahwa terkadang aku memarahi anakku karena aku emosi dan bukan untuk kebaikanya. Kalau sudah terlanjur emosi, sulit rasanya untuk benar-benar berpikir jernih mengenai alasan kita marah. Tapi ada satu barometer yang bisa kita jadikan pengukur  ketika kita marah, yaitu status facebook Ustad Firanda (firanda.com) berikut : 

Jika seseorang marah terhadap istri atau anaknya karena Allah, maka pasti marahnya terkontrol dan ia akan memberi hukuman dalam rangka mendidik dan bukan membalas dendam. Adapun jika kemarahan tidak terkontrol maka itu pertanda kemarahan tersebut karena mengikuti syaitan dan hawa nafsu.

Kurasa, aku harus belajar untuk berhenti sejenak, dan berpikir mengenai hal ini terlebih dahulu sebelum memarahi Bagas. 

Add caption


Tidak ada komentar:

Posting Komentar