Mengurus anak bukanlah hal yang
mudah. Mendidiknya apa lagi. Rasanya, setiap hari seorang ibu harus terus
berhadapan dengan kondisi yang mengharuskan untuk dilakukan pengambilan
keputusan secara cepat dan tepat. Keputusan yang terkadang memiliki efek sepele
tapi juga tak jarang memiliki efek jangka panjang (seperti melukai
perasaan anak).
Setiap ibu pasti sering dilema
dalam mengambil keputusan untuk marah atau tidak, bersikap tegas atau longgar,
menuruti keinginan anak atau menolak, dan sebaginya-dan sebagainya. Tak pernah
ada jawaban yang benar tentang hal itu, bukan? Setiap situasi memiliki jawaban
yang berbeda. Dan sebanyak apapun artikel parenting telah kita baca, pada
akhirnya intuisi lebih sering digunakan daripada teori para pakar.
Salah satu dilema yang paling
sering kualami adalah dilema untuk memarahi anak atau tidak. Pernah dengar
pernyataan yang mengatakan bahwa membentak anak bisa merusak sel-sel otaknya? Ada
yang berhasil untuk tak pernah membentak anak sama sekali sepanjang proses
mengurus anak? Mungkin ada, tapi sebagai ibu yang kurang sabaran, mengalami PMS
dan kelelahan seperiku, tidak pernah membentak anak adalah hal yang mustahil
rasanya. Belum lagi perasaan dilema seperti ,’entar kalau nggak pernah
dibentak, ini anak tumbuh tanpa perasaan segan kepadaku dan terbiasa bersikap
seenaknya’.
Apakah pola pikirku benar? Apakah
sebagai orangtua yang juga ingin menjadi sahabat si anak berarti kita tak boleh
memarahinya? Atau kita boleh marah tapi tanpa membentak? Bagaimana pula caranya
itu? Kalau dipikir-pikir lagi, bukankah kita boleh memukul anak jika ia berumur
10 tahun yang tidak mau sholat? Apakah itu artinya kita boleh memarahi anak
dengan cukup keras setelah ia berumur cukup besar?
Menurutku, ada satu hal yang
dapat dipelajari mengenai ‘memukul anak usia 10 tahun yang tidak mau sholat’,
yaitu : bahwa marah diperbolehkan dengan alasan yang benar. Begini, Nabi
Muhammad Salallahu Alaihi Wa salam memperbolehkan memukul anak, karena hal itu
justru bentuk sayang dan perhatian kita pada sebagai orangtua. Sebagai muslim
kita mengetahui apa akibat dan ancaman dari meninggalkan sholat. Memukul anak,
adalah upaya kita mencegahnya dari sesuatu yang jauh lebih buruk akibatnya.
Tapi, kita harus berhati-hati
jika kita marah hanya untuk melampiaskan emosi semata. Bisa saja dua orang ibu
marah pada dua hal yang tampak sama, tapi pada hakikatnya berbeda. Misalnya
nih, ada dua orang ibu yang menyuruh anaknya sholat, dan kedua anak itu
membantah. Ibu satu memukul si anak karena dia tak mau anaknya meninggalkan
sholat. Sementara ibu yang satu lagi memukul anaknya karena merasa si anak
sudah bersikap kurang ajar dan egonya sebagai orang tua tersentil. Berbeda
bukan?
Aku pun jadi menyadari bahwa
dalam hal marah sekalipun, niat harus diperhatikan dan diluruskan. Karena
memarahi dengan kasih sayang, pada akhirnya memiliki hasil berbeda dengan marah
karena sebatas tengah emosi. Pada akhirnya anak-anak akan memiliki nalar untuk
memahami alasan di balik kemarahan kita. Maka alasan marah yang keliru memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk melukai perasaanya.
Walaupun begitu, aku mengakui bahwa terkadang aku memarahi
anakku karena aku emosi dan bukan untuk kebaikanya. Kalau sudah terlanjur
emosi, sulit rasanya untuk benar-benar berpikir jernih mengenai alasan kita
marah. Tapi ada satu barometer yang bisa kita jadikan pengukur ketika kita marah, yaitu status facebook Ustad
Firanda (firanda.com) berikut :
Jika seseorang marah terhadap istri atau anaknya karena Allah, maka
pasti marahnya terkontrol dan ia akan memberi hukuman dalam rangka mendidik dan
bukan membalas dendam. Adapun jika kemarahan tidak terkontrol maka itu pertanda
kemarahan tersebut karena mengikuti syaitan dan hawa nafsu.
Kurasa, aku harus belajar untuk
berhenti sejenak, dan berpikir mengenai hal ini terlebih dahulu sebelum
memarahi Bagas.
Add caption |
ODOPfor99days #day18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar