Sabtu, 27 Februari 2016

Sudut Pandang Dalam Menghadapi Tingkah Anak



Belum lama ini, aku melihat dua kakak beradik laki-laki bergelut di Mesjid. Kedua anak itu mungkin  umurnya sekitar  4-6 tahun, dengan potongan rambut seperti batok kelapa. Mereka saling mengganggu, kejar-kejaran dan berebut tas ibunya. Karena mereka tarik-tarikan, akhirnya salah satu dari kedua anak itu jatuh tertelungkup. Eh, waktu melihat saudaranya tersungkur gitu, anak laki-laki yang satu lagi malahan dudukin punggungnya ala-ala smack down gitu. Aku otomatis ngakak ngeliat tingkah kedua anak itu. Haha..

Aku jadi berpikir, sepertinya lucu kalau anakku yang kedua laki-laki juga, jadi si Bagas ada lawanya. Jadilah hal itu aku sampaikan ke suami, aku bilang ‘kayaknya kalau adek hamil lagi pinginya laki-laki lagi aja’. Kemudian aku ceritakan sama si mas apa yang aku lihat di mesjid. Terus si mas berkomentar begini,’ ya, adek bilang itu lucu karena liatnya baru sekali, coba kalau tiap hari ngeliat mereka bergelut kayak gitu di rumah, bisa-bisa adek uring-uring terus’.

 Hm, sepertinya suamiku ada benarnya. Tapi aku jadi tercenung juga, terkadang kita tidak mensyukuri apa yang kita miliki, bukan? Misalnya nih, dulu waktu hamil ngeliat anak kecil berantakin lemari, aku bisa ketawa ngakak karena menganggapnya lucu. Eh, waktu Bagas melakukan hal itu tiap hari, aku tak menganggap hal itu lucu lagi, tapi justru merasa sebal. Capek tau beresin baju yang udah dilipat rapi-rapi. Padahal kalau udah nggak bete lagi, aku bisa senyum-senyum sendiri mengingat tingkah polah si Bagas ini. 

Apalagi aku pernah ngebaca status seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Ibu itu seneng banget waktu anaknya akhirnya berantakin rumahnya. Sesuatu yang mebuat sebal para ibu beranak normal. Ah, kalau sudah begitu aku bisa menyesal sendiri, karena kurangnya rasa syukur yang kumiliki. Ya, kenakalan-kenakalan kecil yang dilakukan anak kita terkadang memang menyebalkan (apalagi kalo lagi PMS), tapi hal itu justru yang menjadikan anak-anak sebagai anak-anak. Bisa dibayangin nggak, kalo anak-anak diciptakan langsung memiliki logika seperti orang dewasa. Where’s the fun in that? Mengutip perkataan Imam Ghazali (kalo nggak salah ), ‘tidak akan tercipta yang lebih indah daripada apa yang telah tercipta’.

Ya, aku menyadari bahwa usia-usia awal anak, adalah fase yang merepotkan dan menyita perhatian. Tapi ini juga fase yang termenyenangkan. Ini adalah saat mereka bertingkah dengan berbagai kepolosan murni seorang anak-anak. dan aku sangat menikmati menatap mata anaku yang masih polos itu (kenapa aku tak punya pandangan sepolos itu? hehe) . Apalagi di fase ini kita jauh lebih bebas untuk mencium, memeluk, menggendong dan bergelut dengan mereka. Kelak jika ia bertambah besar tentu kita tak sebebas itu lagi melakukan hal ini. 

aku lupa ini gambar ngopi darimana