Apa
hal paling menakutkan di dunia ini bagi anda? Jika saya mengatakan bahwa salah
satu hal yang paling menakutkan adalah ketidakpastian akan kejadian di masa
depan, saya yakin cukup banyak orang yang setuju. Kecelakaan, penyakit,
bencana, biaya hidup yang melambung, dan sebagainya dan sebagainya. Ketakutan
ini semakin meningkat seiring dengan maraknya penawaran ‘penjamin’ masa depan
seperti asuransi, tabungan berjangka, dan kredit ini-itu. Produk-produk ini
begitu primadona dan populer, sehingga jenisnya terus berkembang dan berkembang
menyesuaikan kebutuhan gaya hidup masa kini. Biaya pendidikan semakin mahal?
Ikut tabungan pendidikan. Biaya berobat mahal? Ikut asuransi kesehatan. Takut
properti terbakar/tertabrak? Ikut asuransi kecelakaan. Takut tulang punggung
keluarga meninggal? Ikut asuransi jiwa. Masa tua tak jelas? Ikut
tabungan/investasi berjangka. Yup! Produk keuangan itu berusaha menjamin semua
kemungkinan terburuk di masa depan. Bagi
yang tak terlalu khawatir dengan bencana dan sebagainya, akan ditakut-takuti
dari pintu yang lain lagi. Pernah dengar kalimat, tanah/properti makin tahun
makin mahal, harganya naik terus, kalo nggak ambil sekarang rugi, ntar dapatnya
tanah paling pelosok-sepelosok-pelosoknya. Dan sebagainya dan sebagainya yang
mengesankan bahwa memiliki property itu darurat banget deh pokoknya.
Semakin
kesini, saya merasa upaya menakut-nakuti itu semakin gencar dengan kalimat yang
semakin beragam. Dan sayangnya, cukup banyak yang termakan dengan
kalimat-kalimat yang sebenarnya bertujuan komersil itu. Tak sedikit saya
mendengar kalimat, ‘tau nggak, adek ipar-sepupunya- temanya-teman
aq, suaminya meninggal padahal usianya masih muda anaknya ada 6
kecil-kecil pula, coba kalo dia ikut asuransi jiwa, kan lumayan.’ Atau kalimat,
‘jaman sekarang kalo nggak kredit, mana bisa beli ini itu’. Pertanyaanya,
apakah rejeki Allah sesempit itu? Tapi kalo dibilangin hukum Islam soal
asuransi, dan bahaya riba, jadinya debat panjang-pendek nggak karuan. Terus ujung-ujungnya
nantangin,’jadi jalan keluarnya gimana?’. Emang yang ngasih rejeki gue dan
temen-temen gue ?
Saya
meyakini 100% bahwa jika seseorang ditakdirkan memiliki sesuatu (Alpahrd
misalnya), maka dia akan memilikinya baik dia membelinya secara kredit atau
tidak. Tapi, kalo dia tidak ditakdirkan untuk memilikinya, mau dia kreditan dan
selalu punya penghasilan tetap sekalipun, Alphard itu tak akan menjadi
miliknya. Ingat, rezeki, umur, dan jodoh telah tertulis dan tinta yang
menuliskanya telah kering. Tapi kalimat saya yang barusan sudah begitu klise
bagi masyarakat kebanyakan. Karena itu, saya ingin mencantumkan sebuah kisah
salah seorang sahabat nabi berikut,
Diriwayatakan
dari Imam ‘Ali Radhiallahu 'anhu, bahwa beliau masuk masjid Kufah. Sebelum shalat beliau
menitipkan hewan tunggangannya kepada seorang anak laki-laki. Setelah selesai
shalat, beliau mengeluarkan uang satu Dinar untuk diberikan ke anak laki-laki
itu. Tapi beliau mendapati anak laki-laki itu telah pergi sambil membawa tali
pengikat hewan tunggangan yang dititipkan padanya. Lalu Imam ‘Ali Radhiallahu 'anhu menyuruh seseorang
untuk membeli tali pengikat hewan
tunggangannya dengan harga satu Dinar. Laki-laki itu melakukannya dan kembali sambil membawa tali pengikat hewan tunggangan untuk beliau. Ketika
itu Ali berkata, “Mahasuci Allah. Itu adalah tali pengikat hewan tungganganku.”
Laki-laki itu berkata, “Aku membelinya dari anak itu satu Dinar.” Imam ‘Ali
berkata, “Mahasuci Allah. Aku hendak memberinya rezeki halal tapi ia tidak mau
dan memilih mengambil yang haram!”
Ah,
tapikan nggak ada salahnya menyiapkan masa depan? Mempersiapkan diri untuk
kemungkinan terburuk kan perlu juga! Mungkin begitu komentar sebagian orang.
Dan saya setuju dengan statement tersebut. Tapi coba perhatikan dimana kita
meletakan rasa aman kita. Seperti yang saya katakan sebelumnya, jika
harta/jaminan itu tidak ditakdirkan menjadi milik anda, maka semua itu akan
hilang. Tak percaya? Baik, mari saya ingatkan kejadian tahun 1997 dan 1999,
ketika bank-bank di Indonesia -yang menurut orang awam bonafid-
dilikuidasi. Berapa banyak nasabah yang
kehilangan uangnya karena tabunganya tidak termasuk kelompok yang dijamin oleh
LPS? Belum lagi yang simpananya berupa investasi, sehingga tidak ditanggung
sama sekali oleh LPS? Berikut satu contoh kasus yang saya kutip dari tempo,
Sebaliknya dengan Hok Seng, 45 tahun,
pengusaha retail yang menyimpan
sejumlah Rp 400 juta di BHS. Menurutnya ia memang apes, pasalnya sejak dua minggu lalu ia sudah berniat
memindahkan uangnya ke Bank Bira. Hanya batal, karena petugas polisi yang
dimintanya untuk mengawal uang terlambat tiba, sehingga kasir terlanjur tutup.
Lantas ketika depositonya jatuh tempo pada 25 Oktober lalu, Hok Seng tidak
dapat mengambilnya, karena saat itu hari Sabtu, dan kas tutup. Hok Seng mulai
merasa curiga ketika ia berniat mengambil uangnya, Senin (27/10), pihak BHS
Bank berniat memotong uangnya sebesar 25 persen.
Dan
ada satu konsep yang harus diingat soal jaminan-jaminan ini, bahwa jaminan itu
perlu dijaminkan lagi supaya terjamin. Haha.. Maksudnya? Begini, anggaplah anda
mengikuti simpanan berjangka, itu loh yang tiap bulan dibayar teratur tapi
nggak boleh ditarik sampai tahun tertentu, kalo ditarik sebelumnya maka
tabungan anda akan dipotong sekian persen. Sekarang saya tanya deh,siapa yang
bisa menjamin anda selalu memiliki uang untuk menyetor ke simpanan tersebut
selama jangka waktu yang ditentukan? Bagaimana jika dari 8 tahun perjalanan
anda, anda tiba-tiba tidak memiliki uang di tahun ke dua? Berikut contoh
kasusnya di link ini, dimana beliau sudah menabung selama 17 bulan dengan total
tabungan 8,5 juta, dan karena tidak sanggup melanjutkan, maka beliau memutuskan
untuk menutup akunnya. Dan ternyata tabunganya menguap >90% dan kembali
400ribu saja karena kurang dari 2 tahun. Berarti kesimpulanya supaya anda bisa
konsisten untuk membayar ‘jaminan’ hari tua anda, anda perlu jaminan untuk
selalu sanggup menyetor bukan?
Jika
begitu, apa yang pasti bisa menjamin kita di dunia ini? Mari saya ingatkan
kembali kisah Nabi Sulaiman yang ingin memberi makan seluruh hewan di dunia
ini:
Syeikh Muhammad bin Ahmad bin ‘Iyas pengarang kitab Bada’i al
Zuhur fi Waqa’i al Duhur memetik kisah yang dinukilkan Syeikh Abd Rahman bin
Salam al Muqri dalam kitab al Aqa’iq, bahwa Nabi Sulaiman alaihissalaam meminta
izin kepada Allah untuk memberi makanan kepada semua makhluk untuk sehari saja.
Maka, Nabi memerintahkan jin dan manusia membawa semua bahan makanan yang ada di
muka bumi yang untuk mengumpulkanya diperlukan waktu hingga sebulan lamanya. Setelah
semuanya beres, kesemua makanan ini disajikan. Maka Allah memerintahkan seekor
ikan muncul untuk dijamu makanan itu. Kemudian dalam sekali suap ikan tersebut
menyantap habis semua hidangan yang disajikan. Ikan itu pun berkata, “Hai
Sulaiman, berikan aku makanan lagi, aku masih belum kenyang.” Jawab Nabi
Sulaiman alaihissalaam, “Engkau sudah memakan semuanya dan engkau masih belum kenyang?”. Ikan
itu menjawab pula, “Ketahuilah, setiap hari aku mendapat 3 kali ganda makanan
daripada apa yang telah engkau sediakan hari ini.”
Allah mampu untuk memberi rezeki pada tiap makhluk di dunia ini,
semuanya tanpa terkecuali. Lalu, mengapa kita masih dipenuhi dengan
kekhawatiran-kehawatiran?
Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa tulisan ini sama
sekali tidak menentang konsep menabung, saya hanya ingin meningatkan bagaimana
mindset kita menghadapi masa depan. Dimana seharusnya kita meletakan perasaan
takut kita, pada angan-angan tentang masa depan atau pada kemarahan Rabbnya.