Tak sedikit kita mendengar
konflik yang disebabkan karena ‘membela kehormatan dan martabat’. Kehormatan
dan martabat adalah satu bagian vital dari hidup manusia. Siapapun itu, pasti
takkan senang ketika kehormatan dan martabatnya direndahkan oleh orang lain.
Ketika kehormatanya mulai direndahkan, manusia akan bereaksi untuk membela
diri. Hal itu sudah merupakan naluri dasar manusia. Gerakan HAM merupakan upaya
manusia untuk membela kehormatannya akibat
penindasan oleh penguasa yang kejam dan diskriminatif sekitar tahun
1215M.
Hingga saat ini HAM
masih menjadi jargon untuk membela kehormatan dan martabat manusia. Hal ini ibarat pedang bermata dua, di satu
sisi HAM membela kepentingan manusia, di sisi lain HAM menuntut penyamarataan
perlakuan dan logika berpikir. Sehingga apapun itu, ajaran agama ataukah kearifan
lokal yang tidak sejalan dengan konsep HAM akan dicap meremehkan kehormatan
manusia. Tuntutan menyamaratakan konsep menjaga kehormatan ini yang menimbulkan
konflik tersendiri. Sebab menjaga kehormatan manusia tak hanya terdapat pada
Magna Charta, Bill Of Right, dan piagam-piagam sejenis yang merupakan hasil
logika manusia. Namun agama juga telah mengatur konsep kehormatan dan martabat
manusia.
Salah satu agama
yang cukup sering dituding anti HAM adalah Islam. Berita miring tentang Islam
merendahkan kehormatan manusia tak jarang
menghiasi berbagai media massa. Mulai dari perilaku umatnya, literatur
sejarahnya, hingga syariat agama Islam dipertanyakan dan diperdebatkan.
Fenomena yang baru-baru ini terjadi contohnya. Sekelompok orang yang menyebut
dirinya ISIS melakukan berbagai tindakan yang tidak saja merendahkan kehormatan
tapi bahkan dengan mudahnya menumpahkan darah manusia. Mereka pun tak segan
melakukan tindakan yang sadis dan mempertontonkanya pada masyarakat luas.
Apa yang dilakukan
ISIS tentu saja bertentangan dengan Islam. Meskipun ISIS berpenampilan seperti
kaum muslimin dan menggunakan berbagai lambang dalam agama Islam, mereka tidak
dapat disandarkan pada Islam. Penyimpangan yang terdapat dalam perilaku dan doktrin ISIS, sudah pasti
bukan bagian dari ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah
Subhanahu Wata’ala berikut:
“Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
(Al-Ma`idah: 32)
Firman Allah di atas adalah
landasan sekaligus bukti bagaimana umat muslim memandang tingginya nyawa
manusia. Dalam Islam tidak dibenarkan bergampang-gampang membunuh manusia. Membunuh
seseorang dihukumi dengan membunuh manusia seluruhnya dan memelihara kehidupan
seseorang diibaratkan dengan memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Dari
terjemahan surat Al Ma’idah di atas, kita juga dapat melihat bahwa kata yang
digunakan adalah ‘manusia’ bukan ‘muslim’, hal ini menunjukan bahwa larangan
menumpahkan darah ini tidak hanya berlaku bagi muslim semata namun juga
larangan membunuh non muslim tanpa alasan yang dibenarkan.
Disamping
tindakan ISIS adalah hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, landasan perbuatan
merekapun tak dibenarkan dalam Islam. ISIS menyatakan siapa pun yang tidak mau
membai’at khalifah mereka, maka mereka pantas untuk dibunuh. Hal ini jelas
bertentangan dengan Islam, sebab muslim wajib menyelesaikan bai’at mereka yang
pertama, yaitu kepada presiden/pemimpin resmi yang muslim ditempat mereka
berdomisili. Dan tidak ada paksaan untuk membai’at seseorang di dalam Islam.
ISIS jelas
menjadi fitnah bagi agama Islam dan penganutnya. Padahal umat muslim di seluruh
dunia yang mengetahui penyimpangan ISIS melakukan berbagai upaya untuk meredam
ISIS. Bahkan upaya kerja sama beberapa negara dengan Arab Saudi untuk
menggempur ISIS juga telah dilakukan. Aksi sosial dari negara Islam untuk
membantu warga sipil di Suriah juga digulirkan, seperti pemberian kebutuhan
pokok dan bantuan bagi warga sipil Suriah yang hendak pindah ke tempat yang
aman. Disamping itu berbagai ormas dan kelompok Islam menyebarluaskan
penyimpangan ISIS melalui berbagai kegiatan dakwah dan media massa untuk
mencegah pemuda-pemudi terkena pengaruh ISIS. Berbagai upaya ini masih
dilakukan hingga sekarang, sebab solidaritas di dalam Islam amat ditekankan
seperti hadist yang saya kutip berikut:
“Perumpamaan
orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu
anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan
demam” (HR. Muslim no. 2586) (1)
|
beberapa aksi sosial untuk Suriah (sumber : muslim.or.id dan moslem channel) |
Hadist yang saya
kutip di atas menunjukan bagaimana Islam adalah agama yang penuh kasih sayang,
saling memperhatikan dan menganjurkan untuk berakhlak mulia kepada orang lain.
Hal ini tidak terbatas hanya di lingkup sesama muslim semata namun juga
terhadap non muslim, seperti ayat Al-Qur’an yang saya kutip di bawah ini:
“Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik (dalam urusan dunia) dan berlaku adil
terhadap orang-orang (kafir) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah :8).
Berdasarkan firman di
atas, kita dapat melihat bahwa muslim diperintahkan untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap non muslim yang tidak memerangi umat muslim. Yang termasuk
dalam berbuat baik disini adalah tidak mengganggu harta, darah dan kehormatan
mereka. Sebab mengganggu ketiga hal tersebut termasuk dalam kezaliman yang
haram hukumnya dalam agama Islam.
Lalu bagaimana dengan kelompok
non muslim yang memerangi muslim? Apakah muslim berlaku kejam dan merendahkan
kehormatan mereka?. Tak sedikit literatur sejarah yang menimbulkan pemikiran
seperti itu mengenai umat muslim, baik dalam peperangan maupun setelah
peperangan dengan diperbolehkanya perbudakan atas tawanan perang. Perang dan
perbudakan adalah dua tema utama yang cukup sering ditudingkan kepada Islam
sebagai agama yang bertentangan dengn HAM. Berikut penjabarannya mengenai kedua
hal tersebut.
Islam menghormati musuh
Dalam literatur
sejarah Islam terdapat cukup banyak kisah peperangan sejak zaman Rasulullah
Salallahu Alaihi Wasalam. Islam dianggap haus darah dan intolerant karena
banyaknya referensi sejarah mengenai perang yang tak berimbang. Padahal tujuan
perang dalam Islam adalah membela agama Allah bukan untuk membela suku/bangsa
tertentu, perebutan kekuasaan ataupun perkara dunia lainya. Perang merupakan
alternatif terakhir setelah dilakukan perundingan dan pemberian peringatan
terhadap musuh. Dan pada dasarnya sebagian besar penyulut perang dalam Islam
adalah pengkhianatan dan pembatalan perjanjian damai oleh musuh.
Bahkan didalam berperang, umat muslim diberi
rambu-rambu agar tetap menghormati hak musuh. Islam melarang membunuh wanita,
anak-anak, musuh yang telah menyerah, orang yang tidak ikut terlibat perang,
bahkan pendeta yang sedang beribadah di tempat ibadahnya. Tidak hanya itu,
Islam pun melarang untuk merusak tanaman, mata air dan sumber penghidupan orang
banyak. Para tawanan perang juga tidak dipaksa untuk masuk Islam ataupun
membayar jisyah (denda) yang tinggi.
Hal yang luput dari perhatian orang yang membaca
sejarah Islam adalah negara Islam tidak pernah menyiksa lawan perangnya yang
telah kalah. Umat muslim hanya mengambil harta rampasan perang dan tidak pernah
menjajah atau berlaku sewenang-wenang terhadap lawanya yang telah kalah. Bahkan
pada salah satu kisah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima permintaan
damai yang diajukan oleh musuhnya yang telah terdesak, seperti yang terjadi
pada perang Khaibar. Padahal Yahudi Khaibar telah memerangi umat muslim dengan mengerahkan
segala kemampuan mereka sejak dua tahun sebelum perang terjadi. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat untuk
berdamai dan hanya meminta mereka meninggalkan Khaibar serta menyerahkan harta
mereka kecuali pakaian yang mereka kenakan. Jika Islam tidak memandang
kehormatan dan martabat manusia, tentu mereka akan mendapat perlakuan buruk
atau bahkan penyiksaan. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru melindungi darah
mereka.
Perilaku penuh
hormat kepada musuh tidak hanya terdapat pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semata.
Peristiwa perang Salib dari seorang orientalis Jerman bernama Sigrid Hunke yang saya
kutip di bawah ini pun menunjukan bagaimana Islam menghormati tawanan perangnya.
Hunke
mengisahkan sebuah dokumen penting yang merupakan catatan dari tentara salib
saat menjadi tawanan Sultan al-Kamil al-Ayyubi. Hunke mengatakan, “Saat Sultan
al-Kamil memenangkan pertempuran pada tahun 1221 M, ia memperlakukan tawanannya
dengan hormat. Ia tidak mengqishas tawanan tersebut; mata dengan mata dan gigi
dengan gigi. Yang ia lakukan adalah memberikan mereka makanan. Ia mengirimkan
uang sebanyak 30.000 Raghif. Dan memberi makanan lainnya. Apa yang dilakukannya
ini disaksikan oleh seorang tawanan yang merupakan seorang filsuf dan teolog
Jerman dari Kota Cologne yang bernama Oliveros. Belum pernah terdengar
sekelompok pasukan memperlakukan tawanannya dengan cara lemah lembut dan
dermawan seperti ini, khususnya tawanan yang merupakan musuh di medan
peperangan… … (tawanan mengatakan) Orang-orang yang kami bunuh ayah-ayah
mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, dan kami perlakukan dengan
kejam, ternyata kemudian kami menjadi tawanan mereka. Dan hampir-hampir kami
mati kelaparan. Mereka malah mengutamakan diri kami dibanding mereka sendiri.
Mereka membantu kami dengan segala daya dan upaya. Kami merasakan kasih sayang
mereka, padahal saat itu kami tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan.” (Sigrid
Hunke, Allahu Laysa Kadzalik, Hal: 33).
Islam
meningkatkan martabat budak
Perbudakan adalah hal yang tidak
dilarang dalam Islam. Dan perbudakan mungkin menjadi salah satu tema tuduhan
utama bahwa Islam meremehkan martabat dan kehormatan manusia. Padahal jika
ingin jujur, para anti Islam tentu mengetahui bahwa budaya perbudakan telah ada
sejak sebelum Islam. Bangsa Romawi, Persia, Babilonia, dan Yunani, seluruhnya
mengenal perbudakan. Begitu juga bangsa Eropa ketika menemukan Benua Amerika,
mereka pun memperbudak dan memandang rendah penduduk lokal. Mereka memiliki
banyak penyebab untuk memperbudak seseorang diantaranya, perang, tawanan,
penculikan, menjual anak-anak yang menjadi tanggungan atau karena menjadi
pencuri. Mereka memandang dan memperlakukan budak dengan keji, memberikan
pekerjaan yang sangat berat serta penyiksaan yang sangat merendahkan martabat
manusia.
Perlakuan dan pandangan ini sangat berkebalikan dengan perbudakan
dalam Islam. Satu-satunya penyebab seseorang menjadi budak dalam Islam adalah
musuh yang telah menjadi tawanan perang. Mungkin sebagian orang bertanya
mengapa Islam tidak mewajibkan pembebasan budak, meski tawanan perang
sekalipun? Islam tidak mewajibkan pembebasan budak karena tidak semua budak
mampu untuk merdeka berdiri sendiri. Para budak dari kelompok anak-anak dan
wanita belum tentu mampu menghidupi dirinya sendiri. Sementara budak laki-laki
dari tawanan musuh tidak dimerdekakan agar tidak mengganggu umat muslim
beribadah dan berdakwah.
Satu
sikap yang wajib dalam Islam berkenaan dengan perbudakan adalah bersikap lembut
dan kasih sayang terhadap mereka. Bahkan Islam mengangkat martabat mereka
dengan panggilan yang baik, serta memandang mereka sebagai saudara dari tuan
mereka. Islam
juga menentang penyiksaan terhadap budak, barang siapa melukai tubuh budaknya
maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut. Terdapat
banyak perintah dan larangan yang berkaitan dengan bersikap lembut terhadap
para budak, salah satunya hadits yang saya kutip di bawah ini.
”Mereka (para budak) adalah saudara dan
pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa
yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan
kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai.
Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka.
Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu
mereka. (hadist Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari I/16, II/123-124 dan
IV/125) (2)
Disamping
tuntunan untuk berlaku lembut terhadap para budak, Islam juga mendorong
memerdekakan budak dengan berbagai cara, diantaranya adalah janji balasan
pahala yang besar bagi muslim yang mau
memerdekakan seorang budak, serta menjadikan memerdekakan budak sebagai
kaffarah (penebus) dosa-dosa tertentu. Berikut satu hadist yang menunjukan
tingginya nilai ibadah memerdekakan seorang budak:
“Barang siapa membebaskan budak yang muslim niscaya
Allah akan membebaskan setiap anggota badannya dengan sebab anggota badan budak
tersebut, sehingga kemaluan dengan kemaluannya.” (hadist Shahih,
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Fathul Bari V/146 dan Shahih Muslim No. 1509) (3)
Dari pemaparan
di atas, kita dapat mengerti bagaimana Islam memandang tinggi kehormatan dan
martabat manusia. Jika syariat Islam mewajibkan berlaku lembut dan menghormati musuh
dan budak, apalagi terhadap kelompok yang tidak memerangi Islam dan pribadi
yang merdeka.
“Sesungguhnya darah, kehormatan dan harta kalian diharamkan
atas kalian (saling menzholiminya) seperti kesucian hari ini, pada bulan ini
dan di negri kalian ini sampai kalian menjumpai Robb kalian. Ketahuilah apakah
aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya”. Maka beliau pun bersabda, “Ya
Allah persaksikanlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak
hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar
langsung. Maka janganlah kalian kembali kufur sepeninggalku, sebagian kalian
saling membunuh sebagian lainnya.”(HR Al Bukhari kitab Al
Ilmu -no. 67) (4)
Tulisan ini saya
ikutkan dalam lomba #70thICRCid.
Catatan kaki:
(4)
http://muslim.or.id/4041-memahami-arti-jihad.html